Oknum Notaris TS Dilaporkan Atas Dugaan Pemalsuan dan Penipuan di Banjarnegara: Publik Bingung, Lembaga Pengawas Membisu

ilustrasi

Banjarnegara, Jawa Tengah –  Suara Rakyat Bawah,

Kepercayaan publik terhadap profesi notaris sebagai garda terdepan penegak hukum dalam ranah perdata kembali tercoreng. Kali ini, kasus yang menyita perhatian masyarakat datang dari Banjarnegara, sebuah kabupaten yang biasanya tenang di jantung Jawa Tengah. Seorang oknum notaris berinisial TS dilaporkan ke Polres Banjarnegara oleh tiga warga: AS, L, dan Y atas dugaan pemalsuan dokumen, penipuan, dan penggelapan dalam pengurusan sertipikat tanah.

Apa yang semestinya menjadi proses hukum yang bersih, profesional, dan transparan, justru berubah menjadi mimpi buruk bagi para korban. Dalam pengakuan mereka, TS diduga memalsukan dokumen otentik, menyalahgunakan kepercayaan, dan merugikan secara materiil maupun psikologis.

“Awalnya kami percaya sepenuhnya. Kami pikir ini notaris resmi, profesional, dan tahu hukum. Tapi ternyata justru kami yang jadi korban,” ujar salah satu pelapor, AS, dengan nada kecewa saat diwawancarai.

Dugaan ini bukan sekadar salah administrasi atau kelalaian kecil. Pemalsuan dokumen oleh seorang notaris berarti merusak integritas hukum secara sistemik. Lebih dari itu, ini adalah bentuk pengkhianatan terhadap kepercayaan publik, sebab notaris adalah pejabat umum yang dilindungi dan diatur oleh undang-undang. Ketika orang seperti TS diduga bermain curang, maka yang dipertaruhkan bukan hanya nasib individu, tapi wibawa profesi secara keseluruhan.

Lembaga Pengawas Profesi Diam?

Yang lebih membuat masyarakat geram adalah sikap diamnya Ikatan Notaris Indonesia (INI) dan Majelis Pengawas Daerah (MPD). Dua lembaga yang seharusnya berdiri di barisan depan untuk menjaga kehormatan dan integritas profesi notaris, justru membisu dan terkesan cuci tangan. Tidak ada pernyataan resmi, tidak ada klarifikasi, bahkan sekadar simpati kepada korban pun tak terdengar.

“Kalau lembaga seperti INI dan MPD saja diam, lalu ke mana masyarakat harus mengadu? Kami ini rakyat kecil, tidak punya akses hukum seperti mereka. Kami hanya ingin hak kami kembali, bukan berperang dengan hukum,” kata pelapor lainnya, Y, dengan mata berkaca-kaca.

Sikap pasif ini menguatkan kesan bahwa ada pembiaran yang sistematis, atau bahkan kemungkinan praktik tutup mata terhadap perilaku oknum di internal profesi notaris. Padahal, masyarakat berharap ada sanksi etik yang tegas dan pemeriksaan independen yang segera dilakukan ketika ada laporan menyangkut profesi strategis seperti notaris.

Dampak Sosial dan Psikologis

Kasus ini tidak hanya menyisakan kerugian materiil, tetapi juga trauma psikologis yang mendalam. Ketiga pelapor mengaku sempat mengalami tekanan mental, ketakutan berurusan dengan hukum, hingga mengalami masalah sosial karena urusan tanah yang belum selesai.

“Ada keluarga yang menuduh saya menjual tanah secara ilegal, padahal saya justru jadi korban. Ini bukan hanya tentang uang, tapi tentang kehormatan dan nama baik,” ujar L dengan suara lirih.

Mereka kini menggantungkan harapan kepada aparat kepolisian agar menangani kasus ini dengan serius, profesional, dan transparan. Penegakan hukum yang tuntas akan menjadi sinyal penting bahwa keadilan masih mungkin ditegakkan di negeri ini, tanpa pandang bulu.

Refleksi dan Seruan Kepada Publik

Kasus TS ini seharusnya menjadi peringatan keras bagi seluruh masyarakat Indonesia, khususnya mereka yang akan mengurus dokumen hukum penting seperti sertipikat tanah, akta jual beli, atau warisan. Jangan mudah percaya hanya karena seseorang menyandang gelar ‘notaris’ atau membuka kantor mewah. Kredibilitas, rekam jejak, dan rekomendasi dari pihak terpercaya harus menjadi dasar utama dalam memilih notaris.

“Sekarang saya tahu, gelar dan jabatan tidak selalu jaminan kejujuran. Kita harus benar-benar waspada,” ucap AS.

Di tengah gempuran kasus-kasus serupa di berbagai daerah, masyarakat sebenarnya berharap agar profesi notaris bisa dibersihkan dari oknum-oknum tak bertanggung jawab. Sayangnya, ketika ada kasus seperti ini, respons lembaga pengawas sangat lambat, bahkan nyaris tak terdengar.

Tuntutan Keadilan dan Pemulihan Kepercayaan

Kini, harapan satu-satunya tinggal pada institusi penegak hukum. Polres Banjarnegara diminta segera menindaklanjuti laporan ini secara terbuka dan obyektif. Masyarakat juga mendorong keterlibatan Kementerian Hukum dan HAM serta Majelis Kehormatan Notaris untuk mengambil alih pengawasan jika MPD dan INI setempat gagal menjalankan fungsi mereka.

Karena jika tidak ada tindakan nyata, maka bukan hanya korban yang rugi — kepercayaan masyarakat terhadap seluruh sistem hukum bisa hancur. Dan ketika hukum kehilangan kepercayaan rakyat, maka yang lahir adalah keputusasaan, ketidakadilan, dan konflik sosial yang sulit dikendalikan.


Jangan Biarkan Kejahatan Berseragam Jabatan Terus Berjalan

Kasus dugaan pemalsuan dokumen oleh TS bukan sekadar pelanggaran hukum, tapi juga pelanggaran moral dan etika. Ini adalah panggilan bagi semua pihak — lembaga pengawas, penegak hukum, media, dan masyarakat sipil — untuk tidak tinggal diam.

Jika oknum seperti ini dibiarkan melenggang bebas, maka hukum telah dikalahkan oleh kekuasaan dan kelicikan.

Saatnya kita bertanya: apa arti jabatan dan gelar, jika hanya digunakan untuk menindas yang lemah?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *