[Banjarnegara, Jawa Tengah] – Suara Rakyat Bawah,
Di balik perbukitan hijau dan kabut yang turun perlahan, tersembunyi sebuah surga di ketinggian dua ribu meter di atas permukaan laut. Dieng, dataran tinggi yang dijuluki sebagai “Negeri di Atas Awan”, bukan hanya menawarkan pemandangan alam yang memukau, tapi juga jejak sejarah dan budaya yang masih hidup dalam kehidupan sehari-hari masyarakatnya.
Setiap langkah kaki menuju kawasan Dieng seolah membawa kita ke dunia yang berbeda. Udara dingin langsung menyergap, segar dan bersih — membuat paru-paru seakan menghirup kehidupan baru. Kabut tipis menyelimuti perkampungan dan pepohonan cemara, menciptakan suasana magis yang sulit dilukiskan dengan kata-kata.
Di tengah dataran ini berdiri Candi Arjuna, salah satu peninggalan Hindu tertua di Jawa. Kompleks candi yang sunyi ini seakan menjadi saksi bisu kejayaan Mataram Kuno. Batu-batu candi yang dingin seakan menyimpan doa-doa kuno yang belum selesai diucapkan. Dari kejauhan, siluet candi berpadu dengan langit keabu-abuan, menyatu dalam kesyahduan alam.

Tak jauh dari sana, Kawah Sikidang menyajikan panorama alam yang begitu kontras: hamparan tanah belerang yang mengepul panas, dengan lubang kawah aktif yang bisa dilihat langsung dari dekat. Bau menyengat sulfur, gemuruh dari bawah tanah, dan gelembung lumpur mendidih mengingatkan kita bahwa Dieng adalah wilayah vulkanik aktif yang menyimpan kekuatan alam luar biasa.
Menuju Telaga Warna, keajaiban kembali menyapa. Danau ini terkenal karena airnya yang berubah-ubah warna — hijau, biru, kadang keemasan — bergantung pada pantulan cahaya dan kandungan mineral di dalamnya. Di sisi lain, Telaga Pengilon menawarkan ketenangan, seperti cermin alam yang jernih, memantulkan langit dan pepohonan di sekelilingnya.

Namun Dieng bukan hanya soal alam. Ia hidup dalam budaya masyarakatnya. Salah satu tradisi paling sakral adalah ruwatan rambut gimbal, sebuah prosesi adat untuk anak-anak lokal yang dipercaya memiliki kekuatan spiritual. Dengan iringan gamelan dan doa-doa, rambut gimbal mereka dipotong oleh tokoh adat, sebagai simbol pelepasan beban batin dan pertanda kedewasaan.
Bagi pencinta matahari terbit, Bukit Sikunir menjadi destinasi yang wajib dituju. Dari atas bukit ini, pengunjung bisa menyaksikan Golden Sunrise Dieng — momen matahari muncul perlahan di antara barisan gunung, menyinari lautan awan yang mengambang di lembah. Pemandangan ini tak hanya indah, tapi juga menyentuh sisi emosional terdalam: mengingatkan kita akan kebesaran Sang Pencipta.
Tak lengkap rasanya jika ke Dieng tanpa mencicipi kuliner khasnya. Carica, buah mirip pepaya mini yang hanya tumbuh di sini, diolah menjadi manisan segar. Ada pula purwaceng, minuman herbal khas pegunungan yang dipercaya menambah stamina, serta mie ongklok hangat yang cocok disantap dalam udara menusuk.
Dieng bukan sekadar tempat wisata. Ia adalah pengalaman spiritual, petualangan alam, dan pelajaran sejarah yang menyatu dalam balutan kabut dan ketenangan.
Bagi siapa pun yang merindukan keheningan, keindahan alami, dan warisan budaya yang masih lestari, Dieng adalah destinasi yang wajib dikunjungi — negeri yang benar-benar membuat kita merasa lebih dekat dengan langit.