Banjarnegara — Suara Rakyat Bawah,
Di tengah geliat harapan akan profesionalisme pejabat publik, tersiar kabar yang memunculkan gurat kecewa di wajah masyarakat Banjarnegara. Seorang oknum notaris berinisial TS diduga telah menggunakan gelar Dr(C) dalam surat-menyurat resmi dan mencantumkannya dalam kop surat resmi notaris miliknya.
Sekilas, penggunaan gelar itu mungkin tampak sebagai bentuk pencapaian akademik. Namun di balik susunan huruf dan tanda kurung itu, tersembunyi pertanyaan serius soal integritas dan etika profesi. Sebab, gelar Dr(C) sejatinya hanyalah penanda bahwa seseorang masih dalam tahap menempuh studi doktoral—belum menyelesaikannya, belum lulus ujian promosi, dan belum mendapatkan hak menyandang gelar Doktor secara resmi.
—
📚 Gelar Dr(C): Bukan untuk Konsumsi Resmi
Gelar Dr(C) (Doctor Candidate) bukanlah gelar akademik yang diakui dalam tata penulisan formal di Indonesia. Penggunaannya bersifat pribadi dan tidak boleh diposisikan sejajar dengan gelar resmi seperti S.H., M.Kn., atau Dr.
Dalam praktik akademik internasional sekalipun, penulisan “Dr(C)” hanya diperkenankan dalam konteks pribadi, seperti profil akademik, forum diskusi ilmiah, atau curriculum vitae. Maka ketika seorang pejabat publik seperti notaris mencantumkannya dalam kop surat resmi, pertanyaan etis pun mengemuka: apakah ini bentuk penyesatan simbolik terhadap status akademik?
Bagi profesi notaris, yang seluruh produknya bersifat otentik dan bernilai hukum, penggunaan gelar yang belum sah bisa mengaburkan makna integritas. Surat resmi dari seorang notaris seharusnya mencerminkan kejujuran, bukan ambisi yang tergesa.
—
⚠️ Logo IPPAT dan Batasan Etis yang Dilanggar
Tak berhenti pada gelar akademik, TS juga diduga menyisipkan logo IPPAT (Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah) dalam surat resmi, padahal yang bersangkutan bukan PPAT aktif dan tidak terdaftar sebagai anggota IPPAT. Ini memperparah dugaan pelanggaran etika yang dilakukan.
Logo IPPAT bukan sekadar lambang, tapi simbol kehormatan dari profesi yang memegang amanah negara dalam urusan pertanahan. Penggunaannya diatur secara ketat dan hanya boleh digunakan oleh anggota aktif yang sah. Maka ketika seseorang yang bukan anggota menggunakannya, itu bisa dikategorikan sebagai pencatutan simbol kelembagaan, bahkan bisa menimbulkan kerancuan persepsi publik dan institusi yang dituju.
Simbol adalah bahasa diam yang berbicara keras. Dan ketika simbol digunakan oleh yang tidak berhak, publik pun layak curiga: apakah ini bentuk kelalaian, atau ada kesengajaan demi memperkuat citra personal?
—
🔍 Refleksi yang Menyayat: Di Mana Integritas Berpijak?
Gelar, lambang, dan kop surat bukanlah sekadar hiasan administrasi. Ia adalah lambang kepercayaan. Ketika seorang pejabat hukum menggunakannya dengan tidak semestinya, maka yang dipertaruhkan bukan hanya reputasi pribadi—tetapi juga wibawa jabatan dan martabat lembaga hukum itu sendiri.
Lebih menyakitkan dari pelanggaran adalah keheningan. Hingga kini, belum terdengar penjelasan atau klarifikasi dari pihak-pihak terkait, baik dari organisasi profesi notaris maupun IPPAT. Padahal publik menanti sikap, bukan sekadar janji. Menanti klarifikasi, bukan sekadar alibi.
Dalam dunia yang terus mencari terang, kejujuran adalah satu-satunya cahaya yang mampu menunjukkan arah. Jika simbol-simbol kehormatan mulai digunakan seenaknya, dan organisasi diam dalam kebekuan, maka kepercayaan masyarakat pun akan perlahan redup.
—
🕊️ Bukan Soal Gelar, Tapi Soal Kejujuran
Setinggi apapun ilmu, setajam apapun gelar, tak akan berarti bila dibangun di atas landasan citra palsu. Seorang pejabat publik, terlebih notaris, sejatinya diminta bukan untuk tampil hebat—tapi untuk menjaga kebenaran, bahkan dalam hal-hal kecil sekalipun.
Karena kadang, pengkhianatan terhadap nilai-nilai hukum tidak datang dari pelanggaran besar, melainkan dari hal-hal kecil yang dibiarkan berlalu begitu saja. Dari satu gelar yang belum sah, dari satu logo yang dipakai tanpa hak—hingga akhirnya menjelma menjadi budaya diam yang mematikan nurani.
Dan jika nurani tak lagi bicara, maka hukum tinggal sebatas teks di atas kertas.