Banjarnegara(27/06/25) – Suara Rakyat Bawah,
Sudah terlalu lama praktik kotor di balik meja kekuasaan dibiarkan tumbuh liar tanpa kontrol berarti. Salah satu ranah yang kini disorot tajam adalah dugaan pemalsuan tanda tangan dan stempel oleh oknum notaris. Tidak hanya satu dua kesaksian, tapi mulai mengemuka pengakuan mantan karyawan yang pernah bekerja di lingkungan tersebut—bahwa memalsukan tanda tangan klien dan menggandakan stempel kepala desa dianggap hal yang lumrah, sebagai bagian dari “langkah efisien” menyiasati birokrasi.
Efisiensi macam apa yang dibangun di atas pemalsuan? Ketika dokumen hukum—yang seharusnya jadi landasan keadilan dan kepercayaan—ternoda oleh tangan-tangan yang tidak bertanggung jawab, maka bukan hanya etika profesi yang runtuh, tapi juga kepercayaan masyarakat terhadap hukum itu sendiri.
Lebih dari sekadar pelanggaran etika, pemalsuan dokumen menyimpan bahaya besar bagi masyarakat. Kepala desa bisa terseret masalah hukum atas dokumen yang tak pernah ia tanda tangani. Bayangkan, seorang kepala desa tiba-tiba dipanggil karena namanya tercantum dalam dokumen bermasalah. Padahal ia tak pernah memberikan persetujuan, apalagi menandatangani. Ini bukan hanya bentuk pencatutan nama—ini adalah pengkhianatan terhadap amanat rakyat.
Hal ini tidak bisa dibiarkan. Tidak boleh lagi ditoleransi. Dan lebih penting lagi: tidak bisa hanya ditangani lewat teguran administratif atau pembenaran prosedural. Sudah saatnya aparat penegak hukum turun tangan secara serius dan tanpa pandang bulu.
Dalam momentum ini, suara lantang datang dari LSM Gerakan Masyarakat Bawah Indonesia (GMBI) Distrik Banjarnegara, yang menyatakan sikap tegas terhadap maraknya indikasi pelanggaran oleh oknum notaris yang bermain di wilayah abu-abu hukum.
Slamet Wahyudi, Ketua Distrik GMBI Banjarnegara, menegaskan:
> “Kami tidak akan tinggal diam. Kalau ada oknum yang menyalahgunakan kewenangan dan rakyat kecil yang jadi korban, maka kami akan berdiri paling depan. Kita akan robohkan tembok-tembok tirani kekuasaan yang sudah keluar dari jalurnya. Jangan harap kedok jabatan bisa jadi tameng untuk merampas hak rakyat. Kalau mereka pikir masyarakat kecil tidak paham hukum, maka mereka salah besar. Kami akan lawan!”
Tak hanya itu, Slamet juga menyentil keras reaksi yang mungkin akan muncul dari pihak-pihak yang merasa terusik:
> “Nanti kita lihat ke depan. Siapa yang bereaksi paling keras, paling sibuk menepis isu ini, dia patut dicurigai. Bisa jadi dialah salah satu oknumnya. Karena sejatinya, notaris-notaris yang memang bekerja jujur dan sesuai prosedur akan senang dan mendukung penuh pembersihan ini. Mereka pasti muak profesinya terus tercoreng oleh ulah segelintir orang tamak yang memperdagangkan legalitas.”
Pernyataan ini bukan sekadar amarah. Ini adalah peringatan keras bahwa kontrol sosial sedang bangkit. Masyarakat tidak akan tinggal diam saat hukum dimainkan seenaknya, saat simbol keadilan dijadikan alat manipulasi.
LSM GMBI secara tegas mendukung setiap langkah bersih-bersih oleh aparat penegak hukum: sidak ke kantor-kantor notaris, audit terhadap dokumen bermasalah, dan tindakan hukum yang konkret terhadap pelanggaran. Tidak boleh ada kompromi dalam hal ini. Jika ada yang coba menutup-nutupi, maka publik wajib bertanya: sedang melindungi siapa?
Saat ini bukan lagi waktunya basa-basi hukum. Sudah saatnya kita berhenti menormalisasi kejahatan yang dikemas dalam map rapi dan stempel palsu. Keadilan tidak lahir dari kemewahan kantor, tapi dari keberanian untuk berdiri di pihak yang benar—meski sendirian.
Dan kepada aparat hukum: jika tidak sekarang, kapan lagi? Jangan tunggu amarah rakyat membuncah lebih luas. Karena sekali kepercayaan masyarakat runtuh, maka bukan hanya profesi yang rusak—tapi legitimasi seluruh sistem hukum itu sendiri.
Sementara dari internal profesi, suara keprihatinan juga datang dari Ketua Ikatan Notaris Indonesia (INI) Banjarnegara, Deny Wibowo, SH, M.Kn., yang secara tegas menyatakan:
> “Saya sangat menyesalkan jika benar ada tindakan oknum notaris yang menyalahgunakan kewenangannya, apalagi sampai melakukan pemalsuan tanda tangan atau stempel. Hal seperti ini tidak bisa ditoleransi dan sangat mencederai profesi notaris yang seharusnya menjadi pilar kepastian hukum.”
Lebih lanjut, Deny juga menyampaikan bahwa masyarakat yang merasa menjadi korban tidak perlu takut untuk melapor:
> “Saya menyarankan agar masyarakat yang merasa dirugikan oleh tindakan tidak profesional oknum notaris untuk tidak segan melapor ke Majelis Pengawas Daerah (MPD). Di sana ada mekanisme pemeriksaan kode etik, dan kami siap mengawal agar prosesnya berjalan transparan dan objektif.”
Pernyataan dari Ketua INI Banjarnegara ini menegaskan bahwa di tengah kasus-kasus yang menyeruak, masih banyak notaris yang menjunjung tinggi integritas dan siap mendukung proses pembersihan di internal profesi.