Banjarnegara (27/09) – Suara Rakyat Bawah,
Penanganan kasus dugaan pemalsuan tanda tangan dalam akta jual beli tanah di Banjarnegara kembali menuai sorotan. Laporan yang diajukan Lisyono bin Alm. Abu Ngamar, warga Desa Majatengah, Kecamatan Kalibening, hingga kini masih belum menunjukkan perkembangan berarti, meski sudah berjalan hampir satu tahun.
Aduan awal terkait kasus ini sebenarnya telah disampaikan Lisyono sejak sekitar November 2024. Namun, laporan resmi baru dituangkan dalam bentuk Laporan Polisi (LP) Nomor: LP/B/31/V/2025/SPKT/POLRES BANJARNEGARA/POLDA JAWA TENGAH, tertanggal 16 Mei 2025. Ironisnya, hingga kini laporan tersebut masih berada di tahap penyelidikan dan belum ada kepastian hukum terkait status para terlapor.
Dalam dua dokumen resmi berupa undangan klarifikasi perkara dan SP2HP (Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyelidikan) yang diterima Lisyono, disebutkan bahwa penyidik masih sebatas melakukan pemeriksaan saksi-saksi serta mengumpulkan dokumen bukti. Tidak ada informasi jelas apakah oknum notaris maupun PPAT yang diduga terlibat sudah dimintai pertanggungjawaban hukum.
—
Pembayaran Beda dengan Pemalsuan Tanda Tangan
Lisyono mengaku pernah mendapat pernyataan dari salah satu oknum penyidik: “Kalau tanah itu sudah dibayar, ngapain buat laporan?”. Menurut ahli hukum, pernyataan ini sangat menyesatkan karena mencampuradukkan antara urusan pembayaran dan tindak pidana pemalsuan tanda tangan.
Pembayaran hanya terkait aspek keperdataan. Jika tanah sudah dibayar lunas, itu menyelesaikan hubungan jual beli antara pembeli dan penjual.
Pemalsuan tanda tangan, sebagaimana diatur dalam Pasal 263 KUHP, merupakan tindak pidana murni yang dapat berdiri sendiri dan tidak dapat dihapus hanya karena transaksi telah dilunasi.
Apalagi, dalam konteks akta tanah, pemalsuan yang diduga dilakukan oleh oknum notaris atau PPAT sangat berbahaya. Akta otentik yang seharusnya memberikan kepastian hukum justru bisa menjadi alat kejahatan jika tanda tangan dipalsukan.
—
LSM GMBI: Waspadai Upaya Pengaburan Fakta
Ketua LSM Gerakan Masyarakat Bawah Indonesia (GMBI) Distrik Banjarnegara menyatakan kekhawatirannya terhadap lambannya perkembangan kasus ini.
> “Jangan sampai masyarakat menilai ada upaya pengaburan fakta. Laporan ini jelas soal dugaan pemalsuan tanda tangan yang melibatkan oknum notaris dan PPAT. Kalau kasus seperti ini dibiarkan, masyarakat kecil yang paling dirugikan. Dokumen tanah adalah nyawa rakyat kecil, dan pemalsuan akta otentik adalah ancaman serius bagi kepastian hukum,” tegasnya.
—
Tuntutan Kepastian Hukum
Meski SP2HP terakhir menyebutkan bahwa sejumlah saksi sudah dimintai keterangan, publik menilai kasus ini tidak boleh berhenti di tengah jalan. Polisi harus memberikan kepastian hukum dengan menindaklanjuti dugaan pemalsuan tanda tangan tersebut hingga ke meja pengadilan.
Dari sisi hukum, masyarakat berhak atas kepastian hukum (rechtszekerheid) dan perlindungan hukum (rechtsbescherming). Jika laporan yang sudah lebih dari satu tahun tidak kunjung diproses tuntas, maka kepercayaan publik terhadap aparat penegak hukum akan tergerus.
Kasus ini seharusnya menjadi momentum bagi Polres Banjarnegara untuk menunjukkan keseriusan dalam memberantas praktik mafia tanah. Transparansi, ketegasan, dan keberanian untuk menindak oknum pejabat publik yang menyalahgunakan wewenang adalah kunci agar hukum benar-benar berpihak pada rakyat kecil.
Intinya, aduan sejak November 2024 yang baru resmi dibuat LP Mei 2025 ini harus segera ditangani secara profesional. Pembayaran tanah tidak bisa menghapus pidana pemalsuan tanda tangan. Polisi dituntut bekerja transparan agar kasus ini tidak dianggap “mandek” dan tidak memunculkan kesan adanya perlindungan terhadap pihak-pihak tertentu.