Tangis Sunyi di Balik Tembok Retak: Potret Pilu SD Negeri 2 Jembangan Banjarnegara

kondisi bangunan sd negeri 2 Jembangan, kecamatan Punggelan Kab. Banjarnegara

Banjarnegara(20/06/2025) – Suara Rakyat Bawah,

Di tengah hijaunya perbukitan Punggelan, di sebuah desa kecil bernama Jembangan, berdiri sebuah sekolah dasar negeri yang kini menanti harapan. SD Negeri 2 Jembangan, sekolah yang seharusnya menjadi tempat bersemainya ilmu, tumbuhnya mimpi, dan lahirnya masa depan anak-anak desa, kini justru tampak seperti bangunan yang terlupakan.

Bangunan tua itu berdiri dengan kondisi mengenaskan. Dinding-dindingnya retak, sebagian sudah mengelupas hingga tampak bata yang terpanggang matahari dan rembesan air hujan. Atapnya bocor, kayu-kayu penyangganya mulai lapuk dimakan usia, dan bila hujan datang, ruang kelas seketika berubah seperti genangan. Meja dan kursi rusak, papan tulis buram, dan tak jarang siswa belajar sambil menahan dingin dari angin yang masuk lewat celah-celah tembok.

Namun justru di tempat seperti inilah, anak-anak itu datang setiap pagi dengan semangat yang tak pernah padam. Mereka berjalan kaki menyusuri jalan setapak, menyeberang sungai kecil, melewati kebun dan sawah hanya untuk sampai di sekolah yang kondisinya jauh dari layak. Sebagian bahkan tak mengenakan sepatu, membawa tas lusuh yang diwariskan dari kakaknya, tapi wajah mereka tetap menyimpan semangat dan harapan.

Di tengah keterbatasan itu, berdirilah sosok sederhana namun penuh tekad: Bapak Suparlan, Kepala Sekolah SD Negeri 2 Jembangan. Ia bukan sekadar guru atau kepala sekolah, tapi juga seorang ayah, penjaga mimpi, dan harapan bagi puluhan anak-anak di desa itu. Sudah bertahun-tahun beliau mengupayakan perbaikan. Proposal demi proposal ia tulis dengan tangan sendiri, diketik di kantor kecil dengan komputer tua yang sering ngadat, lalu dikirimkan ke berbagai instansi. Tapi hingga kini, semua belum juga membuahkan hasil. Jawaban yang datang hanya berupa janji dan harapan yang tertunda.

Meski demikian, beliau tidak menyerah. Ia bahkan berkata, “Kalau harus saya sendiri yang datang menghadap bupati, gubernur, atau menteri, akan saya lakukan. Karena ini bukan untuk saya, tapi untuk anak-anak kami. Mereka punya hak yang sama seperti anak-anak di kota. Saya tak akan biarkan mereka tumbuh dengan pendidikan yang tertinggal.”

Perjuangan Pak Suparlan pun mendapat perhatian dari pejuang sosial lainnya. Slamet Wahyudi, Ketua LSM GMBI Distrik Banjarnegara, menyatakan sikapnya yang tegas: siap mengawal dan mengadvokasi pembangunan SD Negeri 2 Jembangan ke tingkat kabupaten, provinsi, hingga pusat. Menurutnya, pendidikan bukan hanya soal buku dan kurikulum, tapi tentang keadilan sosial dan masa depan bangsa.

“Sungguh miris. Kita bangga dengan pencapaian pendidikan nasional, tapi masih ada sekolah yang nyaris roboh di Banjarnegara. Di mana keadilan untuk mereka? Kami akan bersuara, menggugah siapa pun yang berwenang, agar mata dan hati mereka terbuka melihat kenyataan ini,” ujar Slamet Wahyudi penuh keprihatinan.

Bukan hanya bangunan yang rusak. Tapi ada jiwa, ada semangat, ada harapan anak-anak yang perlahan bisa runtuh jika tak segera ditolong. Mereka bukan hanya siswa—mereka adalah masa depan bangsa ini. Apa jadinya negeri ini jika masa depannya tumbuh dari ruang kelas yang roboh, dari meja belajar yang lapuk, dari papan tulis yang tidak terbaca?

Cerita SD Negeri 2 Jembangan bukan satu-satunya. Tapi kisah ini mencerminkan ironi yang masih terjadi di negeri ini—di mana pembangunan kadang terpusat di kota, dan daerah seperti Jembangan harus puas menanti keajaiban.

Kini, saatnya kita tak hanya menengok, tapi bergerak. Pemerintah daerah, Dinas Pendidikan, para wakil rakyat, hingga lembaga sosial—semuanya memiliki tanggung jawab moral untuk menjawab jeritan sunyi dari pelosok ini. Ini bukan sekadar pembangunan fisik, tapi tentang menjaga mimpi-mimpi kecil yang tumbuh di tengah keterbatasan.

SD Negeri 2 Jembangan adalah bukti nyata bahwa semangat tak pernah padam meski diterpa keterbatasan. Tapi semangat itu tak bisa berdiri sendiri. Ia butuh uluran tangan. Butuh kepedulian. Butuh keputusan. Karena setiap anak bangsa berhak duduk di ruang kelas yang layak, membaca buku tanpa harus menahan dingin atau ketakutan atap akan runtuh kapan saja.

Hari ini kita punya kesempatan untuk menjadi bagian dari perubahan. Untuk mengubah tangis sunyi di balik tembok retak menjadi tawa dan nyanyian anak-anak yang penuh harapan. Jangan biarkan harapan mereka pudar hanya karena kita diam.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *