Banjarnegara, Jawa Tengah — Suara Rakyat Bawah,
Di Dusun Ribug, Desa Punggelan, Kabupaten Banjarnegara, sebuah kisah menyayat hati bergulir dalam diam. Sebuah cerita tentang kesetiaan, kelelahan, dan harapan yang perlahan memudar. Ini adalah kisah tentang Jumini (47), seorang perempuan yang merawat kakak kandungnya, N, yang menderita gangguan kejiwaan — sendirian, dalam kondisi ekonomi yang serba terbatas.
N sudah lama mengalami gangguan kejiwaan. Perilakunya semakin hari semakin sulit dikendalikan. Ia sering marah tanpa alasan jelas, membentak, bahkan mengamuk. Kadang melempar barang di rumah, kadang keluar rumah tanpa tujuan, dan yang paling sering—memaksa ingin makan enak, seperti ayam goreng, makanan cepat saji, atau lauk-lauk mahal lainnya. Permintaan-permintaan ini membuat keluarga kewalahan, sebab realitas mereka jauh dari cukup.
“Kalau tidak dituruti, dia bisa marah besar, teriak-teriak. Kadang melempar barang,” kata Jumini dengan suara parau. “Tapi kami sudah tidak sanggup lagi. Untuk makan seadanya saja kami susah.”
Beban ini terus bertumpuk, hari demi hari. Keluarga besar pun perlahan mulai menyerah. Tidak ada lagi yang sanggup ikut mengurus N. Kini hanya Jumini yang bertahan, meski dalam hatinya, ia tahu bahwa ia tak bisa lagi melawan sendirian.
Dengan hati yang sudah hampir putus asa, Jumini akhirnya meminta bantuan kepada Slamet Wahyudi, Ketua LSM Gerakan Masyarakat Bawah Indonesia (GMBI) Distrik Banjarnegara. Slamet, yang dikenal aktif menyuarakan nasib rakyat kecil, langsung turun tangan.
“Saya langsung ke lapangan setelah mendengar cerita Bu Jumini,” ujar Slamet. “Kondisinya memang memprihatinkan. Ini jelas darurat kemanusiaan. Kita tidak bisa membiarkan ini terus berlarut.”
Slamet segera melakukan pendekatan dengan aparatur desa setempat. Ia menyampaikan situasi N secara terbuka, agar ada perhatian dan langkah konkret dari pemerintah desa. Namun sejauh ini, respon masih terbatas pada simpati dan janji pendataan. Sementara itu, kondisi N kian memburuk.
Langkah berikutnya, Slamet berencana untuk menghubungi Dinas Sosial dan Dinas Kesehatan Kabupaten Banjarnegara. Salah satu opsi yang dipertimbangkan adalah membawa N ke rumah sakit jiwa untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut. Namun, rencana ini tidak mudah untuk segera dieksekusi. Pasalnya, N tidak memiliki BPJS, dan keluarga tidak memiliki kemampuan untuk membayar pengobatan secara mandiri.
“Ini yang paling berat,” ujar Slamet. “Kalau punya BPJS, mungkin prosesnya bisa lebih cepat. Tapi karena tidak punya, nanti akan banyak kendala administratif dan biaya. Saya khawatir justru dipersulit.”
Slamet berharap agar dinas terkait dapat melihat kondisi ini dengan kacamata hati dan nurani. “Saya mohon, jangan terlalu birokratis. Jangan melihat ini hanya dari dokumen dan prosedur. Ini soal kemanusiaan. Orang sakit jiwa yang tidak ditangani bisa membahayakan dirinya sendiri dan orang lain.”
Selain itu, Slamet juga mendorong agar pihak desa dan dinas segera turun ke lapangan, melihat langsung kondisi rumah dan lingkungan tempat N tinggal. Dengan itu, ia berharap semua pihak bisa menyadari bahwa penanganan kasus seperti ini tidak bisa ditunda.
Sementara itu, Jumini hanya bisa menunggu. Ia sudah tidak tahu lagi harus bagaimana. Ia tidak minta banyak—hanya ingin kakaknya mendapat penanganan, dan keluarganya bisa kembali menjalani hari tanpa ketakutan, tanpa tekanan, tanpa jerit kemarahan dari orang yang sangat ia sayangi namun kini berubah karena sakit.
Warga sekitar pun mulai gelisah. Banyak yang merasa prihatin, namun tak sedikit pula yang mulai merasa takut. “Kadang dia baik-baik saja. Tapi kadang bisa sangat kasar, bahkan tiba-tiba marah di tengah jalan,” ujar seorang warga yang enggan disebut namanya.
Kisah ini menjadi cermin nyata tentang wajah lain kehidupan di pedesaan. Di mana masih banyak orang yang terjebak dalam penderitaan, tanpa akses kesehatan, tanpa jaring pengaman sosial, dan tanpa suara untuk didengar. Di mana cinta dan kesetiaan diuji oleh kemiskinan dan ketidakpedulian.
Jumini hanya satu dari banyak wajah-wajah lelah di pelosok negeri yang sedang menggantungkan harapan pada kebaikan orang lain. Pada tangan-tangan yang mau bergerak, pada hati-hati yang masih peduli. Dan hari ini, melalui kepedulian Slamet Wahyudi dan GMBI, harapan itu mulai tumbuh, meski kecil dan rapuh.
“Saya hanya ingin kakak saya dibawa ke tempat yang aman, yang bisa menolong dia,” ucap Jumini, menahan air mata. “Saya sudah tidak bisa apa-apa lagi. Saya cuma ingin ada yang bantu.”
Dan semoga, jeritan diam dari Dusun Ribug ini bisa mengetuk lebih banyak pintu—agar negara benar-benar hadir, bukan hanya dalam slogan, tapi dalam tindakan nyata.