Skip to main content

Sudah Saatnya Dewan Pers Direformasi Total

Aceng Syamsul Hadie, S.Sos., MM. Ketua Dewan Pembina DPP ASWIN

Oleh: Aceng Syamsul Hadie, S.Sos., MM.
Ketua Dewan Pembina DPP ASWIN

Sejak didirikan hampir dua dekade lalu, Dewan Pers telah memainkan peran penting dalam menjaga ekosistem pers nasional. Namun, dalam perjalanannya, Dewan Pers justru kerap menjadi sumber perpecahan dan ketidakadilan dalam dunia jurnalistik. Alih-alih memperkuat kebebasan pers dan membangun ekosistem yang sehat, berbagai kebijakan Dewan Pers justru memunculkan diskriminasi, eksklusivitas, dan kontroversi di kalangan insan pers nasional. Oleh karena itu, reformasi total terhadap Dewan Pers menjadi sebuah keharusan yang tidak dapat ditunda lagi.

Masalah yang Ada di Dewan Pers

1. Paradigma Diskriminatif: Konstituen vs. Non-Konstituen

Salah satu kebijakan kontroversial Dewan Pers adalah membagi insan pers ke dalam dua kategori: konstituen dan bukan konstituen. Stigma negatif yang dilabelkan terhadap wartawan dan perusahaan pers yang tidak terverifikasi telah menciptakan perpecahan serius dalam dunia jurnalistik Indonesia. Bahkan, beberapa oknum Dewan Pers pernah melontarkan pernyataan yang merendahkan insan pers yang tidak tergabung dalam konstituen mereka, menyebutnya sebagai wartawan "abal-abal" atau "ilegal."

Pernyataan semacam ini bukan hanya tidak mencerminkan independensi Dewan Pers, tetapi juga membuka ruang bagi pemerintah dan lembaga lainnya untuk mendiskreditkan wartawan yang tidak terafiliasi dengan Dewan Pers. Akibatnya, kebebasan pers yang seharusnya dijaga oleh Dewan Pers justru terancam oleh kebijakan yang diskriminatif ini.

2. Penyalahgunaan Wewenang dalam Pembuatan Aturan

Dewan Pers telah melampaui kewenangannya dengan menetapkan berbagai aturan yang seharusnya berada di bawah kendali organisasi pers itu sendiri. Misalnya, Dewan Pers menerbitkan Standar Kompetensi Wartawan (SKW) dan mewajibkan Uji Kompetensi Wartawan (UKW) yang dijadikan sebagai syarat bagi wartawan untuk diakui secara resmi.

Padahal, berdasarkan UU Pers No. 40 Tahun 1999, Dewan Pers hanya bertugas untuk memfasilitasi organisasi pers dalam menyusun peraturan di bidang pers, bukan sebagai regulator yang membuat aturan sendiri. Fakta bahwa semua aturan Dewan Pers tidak pernah diundangkan dalam Lembaran Negara menunjukkan bahwa peraturan tersebut tidak memiliki dasar hukum yang kuat.

3. Kebijakan Verifikasi yang Diskriminatif

Salah satu tindakan paling kontroversial Dewan Pers adalah melakukan verifikasi terhadap organisasi wartawan dan perusahaan pers. Proses ini tidak hanya bersifat diskriminatif tetapi juga melampaui tugas Dewan Pers yang hanya berwenang melakukan pendataan, bukan verifikasi. Dengan menetapkan standar sendiri, Dewan Pers telah menciptakan sistem kasta dalam dunia jurnalistik, di mana hanya organisasi dan perusahaan yang telah "lulus" verifikasi yang mendapatkan pengakuan resmi.

Padahal, di era digital saat ini, banyak media baru yang lahir dengan inovasi dan model bisnis yang berbeda. Verifikasi yang dilakukan Dewan Pers justru menghambat pertumbuhan ekosistem media yang sehat dan beragam.

4. Kerjasama Dewan Pers dengan Lembaga Negara yang Tidak Transparan

Dewan Pers juga telah melakukan Memorandum of Understanding (MoU) dengan berbagai lembaga negara, seperti Polri, dengan mengatasnamakan seluruh insan pers nasional. Padahal, mayoritas organisasi dan perusahaan pers di Indonesia tidak merasa terwakili dalam MoU tersebut. Bahkan, banyak di antara mereka yang justru menolak dan mengecam kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh Dewan Pers.

MoU ini tidak hanya mencerminkan ketidaktransparanan Dewan Pers tetapi juga menunjukkan bahwa lembaga ini telah bergerak di luar tugas dan fungsinya. Seharusnya, Dewan Pers menjaga independensi pers, bukan malah menjalin kerja sama yang berpotensi membatasi kebebasan jurnalistik.

Melihat berbagai permasalahan yang terjadi, reformasi total terhadap Dewan Pers bukan hanya sebuah opsi tetapi sebuah keharusan. Reformasi ini harus mencakup dua aspek utama:

Kepengurusan Dewan Pers harus diisi oleh individu-individu yang benar-benar memahami kebebasan pers dan memiliki komitmen untuk menjaga independensi pers nasional.

Pemilihan anggota Dewan Pers harus dilakukan secara transparan dengan melibatkan seluruh organisasi wartawan dan perusahaan pers di Indonesia.

Dewan Pers harus kembali kepada fungsi utamanya sebagai fasilitator, bukan regulator. Artinya, Dewan Pers tidak boleh membuat aturan yang mengikat organisasi pers, tetapi hanya memfasilitasi organisasi dalam menyusun aturan mereka sendiri.

Penghapusan kebijakan diskriminatif, seperti verifikasi perusahaan pers dan organisasi wartawan. Sebagai gantinya, Dewan Pers cukup melakukan pendataan tanpa memberikan stigma terhadap media yang belum terdaftar.

Penghentian MoU yang dilakukan tanpa persetujuan mayoritas organisasi pers nasional.

Komentar dari Nursalim Tinggi, Ketua IWO Indonesia Provinsi Kepri

Menurut Nursalim Tinggi, Ketua Ikatan Wartawan Online (IWO) Indonesia Provinsi Kepulauan Riau, Dewan Pers seharusnya menjadi lembaga yang mengayomi seluruh insan pers tanpa terkecuali. Salah satu permasalahan utama yang dihadapi media saat ini adalah ketidakadilan dalam kerja sama dengan pemerintah. Banyak humas Kominfo di berbagai daerah hanya melayani media yang sudah terverifikasi di Dewan Pers, sementara media yang tidak terdaftar seringkali diabaikan.

"Seharusnya, media yang belum terdaftar di Dewan Pers tetap mendapatkan layanan, termasuk dalam pengajuan proposal kerja sama. Tidak boleh ada diskriminasi hanya karena status verifikasi yang dibuat sepihak oleh Dewan Pers. Jika reformasi ini tidak dilakukan, maka eksistensi Dewan Pers hanya akan semakin dipertanyakan dan berpotensi ditinggalkan oleh mayoritas insan pers nasional," ujar Nursalim.

Dewan Pers didirikan dengan tujuan mulia, yakni untuk memperkuat kemerdekaan pers dan menciptakan ekosistem jurnalistik yang sehat dan berkualitas. Namun, dalam praktiknya, Dewan Pers justru menjadi lembaga yang eksklusif dan tidak mencerminkan independensi sejati. Reformasi total terhadap Dewan Pers adalah langkah yang harus segera diambil demi menjaga kebebasan pers yang sesungguhnya dan mengembalikan marwah pers Indonesia sebagai pilar demokrasi yang bebas, profesional, dan independen.

Comments

Restricted HTML

  • Allowed HTML tags: <br> <p> <h2 id> <h3 id> <h4 id> <h5 id> <h6 id> <cite> <dl> <dt> <dd> <a hreflang href> <blockquote cite> <ul type> <ol type start> <strong> <em> <code> <li>
  • Lines and paragraphs break automatically.
  • Web page addresses and email addresses turn into links automatically.

Article Related